Senin, 08 Maret 2010

penggunaan bahasa indonesia yang baik dan benar

Pada awal abad ke-20 perpecahan dalam bentuk baku tulisan bahasa Melayu mulai terlihat. Di tahun 1901, Indonesia (sebagai Hindia-Belanda) mengadopsi ejaan Van Ophuijsen dan pada tahun 1904 Persekutuan Tanah Melayu (kelak menjadi bagian dari Malaysia) di bawah Inggris mengadopsi ejaan Wilkinson. Ejaan Van Ophuysen diawali dari penyusunan Kitab Logat Melayu (dimulai tahun 1896) van Ophuijsen, dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.

Intervensi pemerintah semakin kuat dengan dibentuknya Commissie voor de Volkslectuur ("Komisi Bacaan Rakyat" - KBR) pada tahun 1908. Kelak lembaga ini menjadi Balai Poestaka. Pada tahun 1910 komisi ini, di bawah pimpinan D.A. Rinkes, melancarkan program Taman Poestaka dengan membentuk perpustakaan kecil di berbagai sekolah pribumi dan beberapa instansi milik pemerintah. Perkembangan program ini sangat pesat, dalam dua tahun telah terbentuk sekitar 700 perpustakaan. Bahasa Indonesia secara resmi diakui sebagai "bahasa persatuan bangsa" pada saat Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928. Penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa nasional atas usulan Muhammad Yamin, seorang politikus, sastrawan, dan ahli sejarah. Dalam pidatonya pada Kongres Nasional kedua di Jakarta, Yamin mengatakan,

"Jika mengacu pada masa depan bahasa-bahasa yang ada di Indonesia dan kesusastraannya, hanya ada dua bahasa yang bisa diharapkan menjadi bahasa persatuan yaitu bahasa Jawa dan Melayu. Tapi dari dua bahasa itu, bahasa Melayulah yang lambat laun akan menjadi bahasa pergaulan atau bahasa persatuan.

Selanjutnya perkembangan bahasa dan kesusastraan Indonesia banyak dipengaruhi oleh sastrawan Minangkabau, seperti Marah Rusli, Abdul Muis, Nur Sutan Iskandar, Sutan Takdir Alisyahbana, Hamka, Roestam Effendi, Idrus, dan Chairil Anwar. Sastrawan tersebut banyak mengisi dan menambah perbendaharaan kata, sintaksis, maupun morfologi bahasa Indonesia.

Penyempurnaan ejaan

Ejaan-ejaan untuk bahasa Melayu/Indonesia mengalami beberapa tahapan sebagai berikut:
[sunting] Ejaan van Ophuijsen

Ejaan ini merupakan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin. Charles Van Ophuijsen yang dibantu oleh Nawawi Soetan Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun ejaan baru ini pada tahun 1896. Pedoman tata bahasa yang kemudian dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen itu resmi diakui pemerintah kolonial pada tahun 1901. Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:

1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer, dsb.
4. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma’moer, ’akal, ta’, pa’, dsb.

[sunting] Ejaan Republik

Ejaan ini diresmikan pada tanggal 19 Maret 1947 menggantikan ejaan sebelumnya. Ejaan ini juga dikenal dengan nama ejaan Soewandi. Ciri-ciri ejaan ini yaitu:

1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata guru, itu, umur, dsb.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k pada kata-kata tak, pak, rakjat, dsb.
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada kanak2, ber-jalan2, ke-barat2-an.
4. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mendampinginya.

[sunting] Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)

Konsep ejaan ini dikenal pada akhir tahun 1959. Karena perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya, diurungkanlah peresmian ejaan ini.
[sunting] Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Ejaan ini diresmikan pemakaiannya pada tanggal 16 Agustus 1972 oleh Presiden Republik Indonesia. Peresmian itu berdasarkan Putusan Presiden No. 57, Tahun 1972. Dengan EYD, ejaan dua bahasa serumpun, yakni Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia, semakin dibakukan.

Perubahan:
Indonesia
(pra-1972) Malaysia
(pra-1972) Sejak 1972
tj ch c
dj j j
ch kh kh
nj ny ny
sj sh sy
j y y
oe* u u

fungsi bahasa sebagai alat komunikasi

Aspek Bahasa

Bahasa merupakan suatu sistem komunikasi yang mempergunakan simbol-simbol vokal (bunyi ujaran) yang bersifat arbitrer, yang dapat diperkuat dengan gerak-gerik badaniah yang nyata. Ia merupakan simbol karena rangkaian bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia harus diberikan makna tertentu pula. Simbol adalah tanda yang diberikan makna tertentu, yaitu mengacu kepada sesuatu yang dapat diserap oleh panca indra.

Berarti bahasa mencakup dua bidang, yaitu vokal yang dihasilkan oleh alat ucap manusia, dan arti atau makna yaitu hubungan antara rangkaian bunyi vokal dengan barang atau hal yang diwakilinya,itu. Bunyi itu juga merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita (=yang diserap oleh panca indra kita, sedangkan arti adalah isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan reaksi atau tanggapan dari orang lain).

Arti yang terkandung dalam suatu rangkaian bunyi bersifat arbitrer atau manasuka. Arbitrer atau manasuka berarti tidak terdapat suatu keharusan bahwa suatu rangkaian bunyi tertentu harus mengandung arti yang tertentu pula. Apakah seekor hewan dengan ciri-ciri tertentu dinamakan anjing, dog, hund, chien atau canis itu tergantung dari kesepakatan anggota masyarakat bahasa itu masing-masing.

3. Benarkah Bahasa Mempengaruhi Perilaku Manusia?

Menurut Sabriani (1963), mempertanyakan bahwa apakah bahasa mempengaruhi perilaku manusia atau tidak? Sebenarnya ada variabel lain yang berada diantara variabel bahasa dan perilaku. Variabel tersebut adalah variabel realita. Jika hal ini benar, maka terbukalah peluang bahwa belum tentu bahasa yang mempengaruhi perilaku manusia, bisa jadi realita atau keduanya.

Kehadiran realita dan hubungannya dengan variabel lain, yakni bahasa dan perilaku, perlu dibuktikan kebenarannya. Selain itu, perlu juga dicermati bahwa istilah perilaku menyiratkan penutur. Istilah perilaku merujuk ke perilaku penutur bahasa, yang dalam artian komunikasi mencakup pendengar, pembaca, pembicara, dan penulis.

3. 1. Bahasa dan Realita

Fodor (1974) mengatakan bahwa bahasa adalah sistem simbol dan tanda. Yang dimaksud dengan sistem simbol adalah hubungan simbol dengan makna yang bersifat konvensional. Sedangkan yang dimaksud dengan sistem tanda adalah bahwa hubungan tanda dan makna bukan konvensional tetapi ditentukan oleh sifat atau ciri tertentu yang dimiliki benda atau situasi yang dimaksud. Dalam bahasa Indonesia kata cecak memiliki hubungan kausal dengan referennya atau binatangnya. Artinya, binatang itu disebut cecak karena suaranya kedengaran seperti cak-cak-cak. Oleh karena itu kata cecak disebut tanda bukan simbol. Lebih lanjut Fodor mengatakan bahwa problema bahasa adalah problema makna. Sebenarnya, tidak semua ahli bahasa membedakan antara simbol dan tanda. Richards (1985) menyebut kata table sebagai tanda meskipun tidak ada hubungan kausal antara objek (benda) yang dilambangkan kata itu dengan kata table.

Dari uraian di atas dapat ditangkap bahwa salah satu cara mengungkapkan makna adalah dengan bahasa, dan masih banyak cara yang lain yang dapat dipergunakan. Namun sejauh ini, apa makna dari makna, atau apa yang dimaksud dengan makna belum jelas. Bolinger (1981) menyatakan bahwa bahasa memiliki sistem fonem, yang terbentuk dari distinctive features bunyi, sistem morfem dan sintaksis. Untuk mengungkapkan makna bahasa harus berhubungan dengan dunia luar. Yang dimaksud dengan dunia luar adalah dunia di luar bahasa termasuk dunia dalam diri penutur bahasa. Dunia dalam pengertian seperti inilah disebut realita.

Penjelasan Bolinger (1981) tersebut menunjukkan bahwa makna adalah hubungan antara realita dan bahasa. Sementara realita mencakup segala sesuatu yang berada di luar bahasa. Realita itu mungkin terwujud dalam bentuk abstraksi bahasa, karena tidak ada bahasa tanpa makna. Sementara makna adalah hasil hubungan bahasa dan realita.

3.2. Bahasa dan Perilaku

Seperti yang telah diuraikan di atas, dalam bahasa selalu tersirat realita. Sementara perilaku selalu merujuk pada pelaku komunikasi. Komunikasi bisa terjadi jika proses decoding dan encoding berjalan dengan baik. Kedua proses ini dapat berjalan dengan baik jika baik encoder maupun decoder sama-sama memiliki pengetahuan dunia dan pengetahuan bahasa yang sama. (Omaggio, 1986).

Dengan memakai pengertian yang diberikan oleh Bolinger(1981) tentang realita, pengetahuan dunia dapat diartikan identik dengan pengetahuan realita. Bagaimana manusia memperoleh bahasa dapat dijelaskan dengan teori-teori pemerolehan bahasa. Sedangkan pemerolehan pengetahuan dunia (realita) atau proses penghubungan bahasa dan realita pada prinsipnya sama, yakni manusia memperoleh representasi mental realita melalui pengalaman yang langsung atau melalui pemberitahuan orang lain. Misalnya seseorang menyaksikan sebuah kecelakaan terjadi, orang tersebut akan memiliki representasi mental tentang kecelakaan tersebut dari orang yang langsung menyaksikannya juga akan membentuk representasi mental tentang kecelakaan tadi. Hanya saja terjadi perbedaan representasi mental pada kedua orang itu.

4. Fungsi Bahasa

Menurut Felicia (2001 : 1), dalam berkomunikasi sehari-hari, salah satu alat yang paling sering digunakan adalah bahasa, baik bahasa lisan maupun bahasa tulis. Begitu dekatnya kita kepada bahasa, terutama bahasa Indonesia, sehingga tidak dirasa perlu untuk mendalami dan mempelajari bahasa Indonesia secara lebih jauh. Akibatnya, sebagai pemakai bahasa, orang Indonesia tidak terampil menggunakan bahasa. Suatu kelemahan yang tidak disadari.

Komunikasi lisan atau nonstandar yang sangat praktis menyebabkan kita tidak teliti berbahasa. Akibatnya, kita mengalami kesulitan pada saat akan menggunakan bahasa tulis atau bahasa yang lebih standar dan teratur. Pada saat dituntut untuk berbahasa’ bagi kepentingan yang lebih terarah dengan maksud tertentu, kita cenderung kaku. Kita akan berbahasa secara terbata-bata atau mencampurkan bahasa standar dengan bahasa nonstandar atau bahkan, mencampurkan bahasa atau istilah asing ke dalam uraian kita. Padahal, bahasa bersifat sangat luwes, sangat manipulatif. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Lihat saja, bagaimana pandainya orang-orang berpolitik melalui bahasa. Kita selalu dapat memanipulasi bahasa untuk kepentingan dan tujuan tertentu. Agar dapat memanipulasi bahasa, kita harus mengetahui fungsi-fungsi bahasa.

Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, yakni sebagai alat untuk mengekspresikan diri, sebagai alat untuk berkomunikasi, sebagai alat untuk mengadakan integrasi dan beradaptasi sosial dalam lingkungan atau situasi tertentu, dan sebagai alat untuk melakukan kontrol sosial (Keraf, 1997: 3).

Derasnya arus globalisasi di dalam kehidupan kita akan berdampak pula pada perkembangan dan pertumbuhan bahasa sebagai sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi. Di dalam era globalisasi itu, bangsa Indonesia mau tidak mau harus ikut berperan di dalam dunia persaingan bebas, baik di bidang politik, ekonomi, maupun komunikasi. Konsep-konsep dan istilah baru di dalam pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) secara tidak langsung memperkaya khasanah bahasa Indonesia. Dengan demikian, semua produk budaya akan tumbuh dan berkembang pula sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi itu, termasuk bahasa Indonesia, yang dalam itu, sekaligus berperan sebagai prasarana berpikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan iptek itu (Sunaryo, 1993, 1995).

Menurut Sunaryo (2000 : 6), tanpa adanya bahasa (termasuk bahasa Indonesia) iptek tidak dapat tumbuh dan berkembang. Selain itu bahasa Indonesia di dalam struktur budaya, ternyata memiliki kedudukan, fungsi, dan peran ganda, yaitu sebagai akar dan produk budaya yang sekaligus berfungsi sebagai sarana berfikir dan sarana pendukung pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Tanpa peran bahasa serupa itu, ilmu pengetahuan dan teknologi tidak akan dapat berkembang. Implikasinya di dalam pengembangan daya nalar, menjadikan bahasa sebagai prasarana berfikir modern. Oleh karena itu, jika cermat dalam menggunakan bahasa, kita akan cermat pula dalam berfikir karena bahasa merupakan cermin dari daya nalar (pikiran).

Hasil pendayagunaan daya nalar itu sangat bergantung pada ragam bahasa yang digunakan. Pembiasaan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar akan menghasilkan buah pemikiran yang baik dan benar pula. Kenyataan bahwa bahasa Indonesia sebagai wujud identitas bahasa Indonesia menjadi sarana komunikasi di dalam masyarakat modern. Bahasa Indonesia bersikap luwes sehingga mampu menjalankan fungsinya sebagai sarana komunikasi masyarakat modern.

4.1 Bahasa sebagai Alat Ekspresi Diri

Pada awalnya, seorang anak menggunakan bahasa untuk mengekspresikan kehendaknya atau perasaannya pada sasaran yang tetap, yakni ayah-ibunya. Dalam perkembangannya, seorang anak tidak lagi menggunakan bahasa hanya untuk mengekspresikan kehendaknya, melainkan juga untuk berkomunikasi dengan lingkungan di sekitarnya. Setelah kita dewasa, kita menggunakan bahasa, baik untuk mengekspresikan diri maupun untuk berkomunikasi. Seorang penulis mengekspresikan dirinya melalui tulisannya. Sebenarnya, sebuah karya ilmiah pun adalah sarana pengungkapan diri seorang ilmuwan untuk menunjukkan kemampuannya dalam sebuah bidang ilmu tertentu. Jadi, kita dapat menulis untuk mengekspresikan diri kita atau untuk mencapai tujuan tertentu.

Sebagai contoh lainnya, tulisan kita dalam sebuah buku, merupakan hasil ekspresi diri kita. Pada saat kita menulis, kita tidak memikirkan siapa pembaca kita. Kita hanya menuangkan isi hati dan perasaan kita tanpa memikirkan apakah tulisan itu dipahami orang lain atau tidak. Akan tetapi, pada saat kita menulis surat kepada orang lain, kita mulai berpikir kepada siapakah surat itu akan ditujukan. Kita memilih cara berbahasa yang berbeda kepada orang yang kita hormati dibandingkan dengan cara berbahasa kita kepada teman kita.

Pada saat menggunakan bahasa sebagai alat untuk mengekspresikan diri, si pemakai bahasa tidak perlu mempertimbangkan atau memperhatikan siapa yang menjadi pendengarnya, pembacanya, atau khalayak sasarannya. Ia menggunakan bahasa hanya untuk kepentingannya pribadi. Fungsi ini berbeda dari fungsi berikutnya, yakni bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi.

Sebagai alat untuk menyatakan ekspresi diri, bahasa menyatakan secara terbuka segala sesuatu yang tersirat di dalam dada kita, sekurang-kurangnya untuk memaklumkan keberadaan kita. Unsur-unsur yang mendorong ekspresi diri antara lain :

- agar menarik perhatian orang lain terhadap kita,

- keinginan untuk membebaskan diri kita dari semua tekanan emosi

Pada taraf permulaan, bahasa pada anak-anak sebagian berkembang sebagai alat untuk menyatakan dirinya sendiri (Gorys Keraf, 1997 :4).

4.2 Bahasa sebagai Alat Komunikasi

Komunikasi merupakan akibat yang lebih jauh dari ekspresi diri. Komunikasi tidak akan sempurna bila ekspresi diri kita tidak diterima atau dipahami oleh orang lain. Dengan komunikasi pula kita mempelajari dan mewarisi semua yang pernah dicapai oleh nenek moyang kita, serta apa yang dicapai oleh orang-orang yang sezaman dengan kita.

Sebagai alat komunikasi, bahasa merupakan saluran perumusan maksud kita, melahirkan perasaan kita dan memungkinkan kita menciptakan kerja sama dengan sesama warga. Ia mengatur berbagai macam aktivitas kemasyarakatan, merencanakan dan mengarahkan masa depan kita (Gorys Keraf, 1997 : 4).

Pada saat kita menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, kita sudah memiliki tujuan tertentu. Kita ingin dipahami oleh orang lain. Kita ingin menyampaikan gagasan yang dapat diterima oleh orang lain. Kita ingin membuat orang lain yakin terhadap pandangan kita. Kita ingin mempengaruhi orang lain. Lebih jauh lagi, kita ingin orang lain membeli hasil pemikiran kita. Jadi, dalam hal ini pembaca atau pendengar atau khalayak sasaran menjadi perhatian utama kita. Kita menggunakan bahasa dengan memperhatikan kepentingan dan kebutuhan khalayak sasaran kita.

Pada saat kita menggunakan bahasa untuk berkomunikasi, antara lain kita juga mempertimbangkan apakah bahasa yang kita gunakan laku untuk dijual. Oleh karena itu, seringkali kita mendengar istilah “bahasa yang komunikatif”. Misalnya, kata makro hanya dipahami oleh orang-orang dan tingkat pendidikan tertentu, namun kata besar atau luas lebih mudah dimengerti oleh masyarakat umum. Kata griya, misalnya, lebih sulit dipahami dibandingkan kata rumah atau wisma. Dengan kata lain, kata besar, luas, rumah, wisma, dianggap lebih komunikatif karena bersifat lebih umum. Sebaliknya, kata-kata griya atau makro akan memberi nuansa lain pada bahasa kita, misalnya, nuansa keilmuan, nuansa intelektualitas, atau nuansa tradisional.

Bahasa sebagai alat ekspresi diri dan sebagai alat komunikasi sekaligus pula merupakan alat untuk menunjukkan identitas diri. Melalui bahasa, kita dapat menunjukkan sudut pandang kita, pemahaman kita atas suatu hal, asal usul bangsa dan negara kita, pendidikan kita, bahkan sifat kita. Bahasa menjadi cermin diri kita, baik sebagai bangsa maupun sebagai diri sendiri.

4.3 Bahasa sebagai Alat Integrasi dan Adaptasi Sosial

Bahasa disamping sebagai salah satu unsur kebudayaan, memungkinkan pula manusia memanfaatkan pengalaman-pengalaman mereka, mempelajari dan mengambil bagian dalam pengalaman-pengalaman itu, serta belajar berkenalan dengan orang-orang lain. Anggota-anggota masyarakat hanya dapat dipersatukan secara efisien melalui bahasa. Bahasa sebagai alat komunikasi, lebih jauh memungkinkan tiap orang untuk merasa dirinya terikat dengan kelompok sosial yang dimasukinya, serta dapat melakukan semua kegiatan kemasyarakatan dengan menghindari sejauh mungkin bentrokan-bentrokan untuk memperoleh efisiensi yang setinggi-tingginya. Ia memungkinkan integrasi (pembauran) yang sempurna bagi tiap individu dengan masyarakatnya (Gorys Keraf, 1997 : 5).

Cara berbahasa tertentu selain berfungsi sebagai alat komunikasi, berfungsi pula sebagai alat integrasi dan adaptasi sosial. Pada saat kita beradaptasi kepada lingkungan sosial tertentu, kita akan memilih bahasa yang akan kita gunakan bergantung pada situasi dan kondisi yang kita hadapi. Kita akan menggunakan bahasa yang berbeda pada orang yang berbeda. Kita akan menggunakan bahasa yang nonstandar di lingkungan teman-teman dan menggunakan bahasa standar pada orang tua atau orang yang kita hormati.

Pada saat kita mempelajari bahasa asing, kita juga berusaha mempelajari bagaimana cara menggunakan bahasa tersebut. Misalnya, pada situasi apakah kita akan menggunakan kata tertentu, kata manakah yang sopan dan tidak sopan. Bilamanakah kita dalam berbahasa Indonesia boleh menegur orang dengan kata Kamu atau Saudara atau Bapak atau Anda? Bagi orang asing, pilihan kata itu penting agar ia diterima di dalam lingkungan pergaulan orang Indonesia. Jangan sampai ia menggunakan kata kamu untuk menyapa seorang pejabat. Demikian pula jika kita mempelajari bahasa asing. Jangan sampai kita salah menggunakan tata cara berbahasa dalam budaya bahasa tersebut. Dengan menguasai bahasa suatu bangsa, kita dengan mudah berbaur dan menyesuaikan diri dengan bangsa tersebut.

4.4 Bahasa sebagai Alat Kontrol Sosial

Sebagai alat kontrol sosial, bahasa sangat efektif. Kontrol sosial ini dapat diterapkan pada diri kita sendiri atau kepada masyarakat. Berbagai penerangan, informasi, maupun pendidikan disampaikan melalui bahasa. Buku-buku pelajaran dan buku-buku instruksi adalah salah satu contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial.

Ceramah agama atau dakwah merupakan contoh penggunaan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Lebih jauh lagi, orasi ilmiah atau politik merupakan alat kontrol sosial. Kita juga sering mengikuti diskusi atau acara bincang-bincang (talk show) di televisi dan radio. Iklan layanan masyarakat atau layanan sosial merupakan salah satu wujud penerapan bahasa sebagai alat kontrol sosial. Semua itu merupakan kegiatan berbahasa yang memberikan kepada kita cara untuk memperoleh pandangan baru, sikap baru, perilaku dan tindakan yang baik. Di samping itu, kita belajar untuk menyimak dan mendengarkan pandangan orang lain mengenai suatu hal.

Contoh fungsi bahasa sebagai alat kontrol sosial yang sangat mudah kita terapkan adalah sebagai alat peredam rasa marah. Menulis merupakan salah satu cara yang sangat efektif untuk meredakan rasa marah kita. Tuangkanlah rasa dongkol dan marah kita ke dalam bentuk tulisan. Biasanya, pada akhirnya, rasa marah kita berangsur-angsur menghilang dan kita dapat melihat persoalan secara lebih jelas dan tenang.

5. Bahasa Indonesia Yang Baik dan Benar

Bahasa bukan sekedar alat komunikasi, bahasa itu bersistem. Oleh karena itu, berbahasa bukan sekedar berkomunikasi, berbahasa perlu menaati kaidah atau aturan bahasa yang berlaku.

Ungkapan “Gunakanlah Bahasa Indonesia dengan baik dan benar.” Kita tentu sudah sering mendengar dan membaca ungkapan tersebut. Permasalahannya adalah pengertian apa yang terbentuk dalam benak kita ketika mendengar ungkapan tersebut? Apakah sebenarnya ungkapan itu? Apakah yang dijadikan alat ukur (kriteria) bahasa yang baik? Apa pula alat ukur bahasa yang benar?

5.1 Bahasa yang Baik

Penggunaan bahasa dengan baik menekankan aspek komunikatif bahasa. Hal itu berarti bahwa kita harus memperhatikan sasaran bahasa kita. Kita harus memperhatikan kepada siapa kita akan menyampaikan bahasa kita. Oleh sebab itu, unsur umur, pendidikan, agama, status sosial, lingkungan sosial, dan sudut pandang khalayak sasaran kita tidak boleh kita abaikan. Cara kita berbahasa kepada anak kecil dengan cara kita berbahasa kepada orang dewasa tentu berbeda. Penggunaan bahasa untuk lingkungan yang berpendidikan tinggi dan berpendidikan rendah tentu tidak dapat disamakan. Kita tidak dapat menyampaikan pengertian mengenai jembatan, misalnya, dengan bahasa yang sama kepada seorang anak SD dan kepada orang dewasa. Selain umur yang berbeda, daya serap seorang anak dengan orang dewasa tentu jauh berbeda.

Lebih lanjut lagi, karena berkaitan dengan aspek komunikasi, maka unsur-unsur komunikasi menjadi penting, yakni pengirim pesan, isi pesan, media penyampaian pesan, dan penerima pesan. Mengirim pesan adalah orang yang akan menyampaikan suatu gagasan kepada penerima pesan, yaitu pendengar atau pembacanya, bergantung pada media yang digunakannya. Jika pengirim pesan menggunakan telepon, media yang digunakan adalah media lisan. Jika ia menggunakan surat, media yang digunakan adalah media tulis. Isi pesan adalah gagasan yang ingin disampaikannya kepada penerima pesan.

Marilah kita gunakan contoh sebuah majalah atau buku. Pengirim pesan dapat berupa penulis artikel atau penulis cerita, baik komik, dongeng, atau narasi. Isi pesan adalah permasalahan atau cerita yang ingin disampaikan atau dijelaskan. Media pesan merupakan majalah, komik, atau buku cerita. Semua bentuk tertulis itu disampaikan kepada pembaca yang dituju. Cara artikel atau cerita itu disampaikan tentu disesuaikan dengan pembaca yang dituju. Berarti, dalam pembuatan tulisan itu akan diperhatikan jenis permasalahan, jenis cerita, dan kepada siapa tulisan atau cerita itu ditujukan.

5.2 Bahasa yang Benar

Bahasa yang benar berkaitan dengan aspek kaidah, yakni peraturan bahasa. Berkaitan dengan peraturan bahasa, ada empat hal yang harus diperhatikan, yaitu masalah tata bahasa, pilihan kata, tanda baca, dan ejaan. Pengetahuan atas tata bahasa dan pilihan kata, harus dimiliki dalam penggunaan bahasa lisan dan tulis. Pengetahuan atas tanda baca dan ejaan harus dimiliki dalam penggunaan bahasa tulis. Tanpa pengetahuan tata bahasa yang memadai, kita akan mengalami kesulitan dalam bermain dengan bahasa.

Kriteria yang digunakan untuk melihat penggunaan bahasa yang benar adalah kaidah bahasa. Kaidah ini meliputi aspek (1) tata bunyi (fonologi), (2)tata bahasa (kata dan kalimat), (3) kosa kata (termasuk istilah), (4), ejaan, dan (5) makna. Pada aspek tata bunyi, misalnya kita telah menerima bunyi f, v dan z. Oleh karena itu, kata-kata yang benar adalah fajar, motif, aktif, variabel, vitamin, devaluasi, zakat, izin, bukan pajar, motip, aktip, pariabel, pitamin, depaluasi, jakat, ijin. Masalah lafal juga termasuk aspek tata bumi. Pelafalan yang benar adalah kompleks, transmigrasi, ekspor, bukan komplek, tranmigrasi, ekspot.

Pada aspek tata bahasa, mengenai bentuk kata misalnya, bentuk yang benar adalah ubah, mencari, terdesak, mengebut, tegakkan, dan pertanggungjawaban, bukan obah, robah, rubah, nyari, kedesak, ngebut, tegakan dan pertanggung jawaban. Dari segi kalimat pernyataan di bawah ini tidak benar karena tidak mengandung subjek. Kalimat mandiri harus mempunyai subjek, predikat atau dan objek.

(1) Pada tabel di atas memperlihatkan bahwa jumlah wanita lebih banyak daripada jumlah pria.

Jika kata pada yang mengawali pernyataan itu ditiadakan, unsur tabel di atas menjadi subjek. Dengan demikian, kalimat itu benar. Pada aspek kosa kata, kata-kata seperti bilang, kasih, entar dan udah lebih baik diganti dengan berkata/mengatakan, memberi, sebentar, dan sudah dalam penggunaan bahasa yang benar. Dalam hubungannya dengan peristilahan, istilah dampak (impact), bandar udara, keluaran (output), dan pajak tanah (land tax) dipilih sebagai istilah yang benar daripada istilah pengaruh, pelabuhan udara, hasil, dan pajak bumi. Dari segi ejaan, penulisan yang benar adalah analisis, sistem, objek, jadwal, kualitas, dan hierarki. Dari segi maknanya, penggunaan bahasa yang benar bertalian dengan ketepatan menggunakan kata yang sesuai dengan tuntutan makna. Misalnya dalam bahasa ilmu tidak tepat jika digunakan kata yang sifatnya konotatif (kiasan). Jadi penggunaan bahasa yang benar adalah penggunaan bahasa yang sesuai dengan kaidah bahasa.

Kriteria penggunaan bahasa yang baik adalah ketepatan memilih ragam bahasa yang sesuai dengan kebutuhan komunikasi. Pemilihan ini bertalian dengan topik yang dibicarakan, tujuan pembicaraan, orang yang diajak berbicara (kalau lisan) atau pembaca (jika tulis), dan tempat pembicaraan. Selain itu, bahasa yang baik itu bernalar, dalam arti bahwa bahasa yang kita gunakan logis dan sesuai dengan tata nilai masyarakat kita. Penggunaan bahasa yang benar tergambar dalam penggunaan kalimat-kalimat yang gramatikal, yaitu kalimat-kalimat yang memenuhi kaidah tata bunyi (fonologi), tata bahasa, kosa kata, istilah, dan ejaan. Penggunaan bahasa yang baik terlihat dari penggunaan kalimat-kalimat yang efektif, yaitu kalimat-kalimat yang dapat menyampaikan pesan/informasi secara tepat (Dendy Sugondo, 1999 : 21)..

Berbahasa dengan baik dan benar tidak hanya menekankan kebenaran dalam hal tata bahasa, melainkan juga memperhatikan aspek komunikatif. Bahasa yang komunikatif tidak selalu hanus merupakan bahasa standar. Sebaliknya, penggunaan bahasa standar tidak selalu berarti bahwa bahasa itu baik dan benar. Sebaiknya, kita menggunakan ragam bahasa yang serasi dengan sasarannya dan disamping itu mengikuti kaidah bahasa yang benar (Alwi dkk., 1998: 21)

pemanfaatan bahasa indonesia pada tatanan ilmiah

Pada dasarnya, bahasa memiliki fungsi-fungsi tertentu yang digunakan berdasarkan kebutuhan seseorang, Fungsi bahasa tersebut dibagi menjadi 5 (lima) :

  1. Sebagai alat komunikasi,
  2. Sebagai alat ekpresi diri,
  3. Sebagai alat Kontrol social dan integrasi,
  4. Sebagai alat adaptasi, dan
  5. Sebagai alat berpikir.

Dalam perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia bahasa Indonesia memainkan peran strategis. Kebijakan penerbitan bacaan pada dasa warsa kedua abad kedua puluh merupakan langkah nyata peran bahasa Indonesia dalam mencerdaskan kehidupan bangsa karena bahasa Indonesia digunakan sebagai bahasa pengantar dalam penerbitan buku-buku bacaan rakyat.
Bahasa Indonesia mencapai puncak perjuangan politik sejalan dengan perjuangan politik bangsa Indonesia dalam mencapai kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, bahasa Indonesia menjadi bahasa negara (Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 36) sehari setelah proklamasi kemerdekaan.

Dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :

  1. lambang kebangsaan nasional,
  2. lambang identitas nasional,
  3. alat pemersatu berbagai kelompok etnik yang berbeda latar belakang sosial budaya dan bahasanya, serta
  4. alat perhubungan antar budaya dan antar daerah.

Sementara itu, sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai :

  1. bahasa resmi kenegaraan,
  2. bahasa pengantar resmi lembaga pendidikan,
  3. bahasa resmi perhubungan pada tingkat nasional,
  4. bahasa resmi pengembangan kebudayaan nasional,
  5. sarana pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern,
  6. bahasa media massa,
  7. pendukung sastra Indonesia, dan
  8. pemerkaya bahasa dan sastra daerah.

Sebagai bahasa resmi kenegaraan dan bahasa perhubungan pada tingkat nasional, bahasa Indonesia masih menemui kendala, yaitu masih ada sejumlah penduduk yang masih belum dapat berbahasa Indonesia. Dari hasil sensus penduduk tahun 2000 ada 15.637.949 penduduk usia 10 tahun ke atas yang masih buta aksara, 7,58% dari keseluruhan jumlah penduduk Indonesia, 206.264.595 orang.

Sebagai bahasa pengantar resmi dalam dunia pendidikan, kenyataan menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan dasar penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar masih dicoraki oleh pengaruh bahasa daerah yang hidup di lingkungan sekolah. Selain itu, penggunaan bahasa Indonesia dalam buku-buku pelajaran masih memiliki kelemahan, yaitu masih terdapat kesalahan-kesalahan bahasa di dalam buku-buku tersebut. Padahal, buku-buku itu menjadi pegangan siswa yang sehari-hari dibaca dan dipelajarinya. Sementara itu, kemampuan mahasiswa dalam menulis karya ilmiah masih menunjukkan ketidak cermatan penggunaan bahasa Indonesia.

Sebagai bahasa resmi dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, bahasa Indonesia dihadapkan pada kekurangan kosakata termasuk peristilahannya. Berbagai konsep ilmu dan teknologi dari luar yang menggunakan bahasa asing belum seluruhnya dapat dialihkan dengan cepat ke dalam bahasa Indonesia, walaupun telah tercatat 78.000 lema kata umum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga (2001) dan 264.000 istilah dalam berbagai bidang ilmu.

Selain berbagai faktor internal tersebut, arus globalisasi yang didukung teknologi informasi ikut memacu perkembangan bahasa Indonesia, terutama dalam persiapan memasuki tatanan kehidupan dunia yang baru.

Tatanan kehidupan dunia yang baru telah membuka lembaran baru dalam kehidupan umat manusia. Kehadiran teknologi informasi (seperti telepon, faksimile, dan internet) dengan kemampuan daya jangkau yang dapat menerobos batas ruang dan waktu telah melahirkan keterbukaan sehingga dunia ini bagaikan sebuah desa global. Teknologi informasi itu menggunakan bahasa sebagai pengantar maka dalam media itu terpajang berbagai macam bahasa dunia. Dalam kondisi seperti itu sebenarnya tidak hanya terjadi persaingan secara terbuka produk dan jasa, tetapi telah terjadi juga persaingan secara terbuka antara bahasa yang satu dan bahasa yang lainnya. Kondisi itu bisa membuat orang berpikir bahwa bahasa menjadi sangat penting bagi kehidupan suatu bangsa. Untuk itu, perlu dilakukan berbagai upaa pemantapan peran bahasa Indonesia, terutama sebagai alat pemersatu bangsa.
Langkah utama yang perlu dilakukan ialah mempercepat pengembangan kosakata bahasa Indonesia sejalan dengan perkembangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia di tengah-tengah tatanan kehidupan baru, globalisasi.

Selain faktor bahasa, jumlah penutur bahasa Indonesia, jika dukur dari jumlah penduduk, urutan keempat penduduk besar dunia, tentu merupakan kekuatan besar dalam penempatan posisi bahasa Indonesia di antara bahasa-bahasa lain. Namun faktor pilitik, ekonomi, sosial budaya, dan mutu sumber daya amnusia lebih memainkan peran dalam penentuan posisi suatu bangsa dalam tatanan kehidupan global. Oleh karena itu, peningkatan mutu sumber daya manusia merupakan syarat utama dalam peningkatan posisi bahasa Indonesia dalam tatanan kehidupan global tersebut. Satu-satunya upaya peningkatan mutu sumber daya manusia Indonesia harus dilakukan melalui penngkatan mutu pendidikan, termasuk di dalamnya peningkatan mutu pendidikan bahasa Indonesia karena bahasa Indonesia menjadi pintu gerbang penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk itu, perlu ditempuh strategi pemantapan peran bahasa Indonesia dalam memasuki tatanan kehidupan dunia yang baru, globalisasi, tersebut.

Permasalahan tadi memberikan gambaran betapa penting pemantapan peran bahasa Indonesia dalam persaingan kehidupan global. Untuk itu, perlu diupayakan peningkatan mutu daya ungkap bahasa Indonesia. Peningkatan mutu tersebut mencakup percepatan pengembangan kosakata/istilah bahasa Indonesia dan pengembangan sistem bahasa (tata bahasa). Pengembangan kosakata memiliki tiga kelompok bahasa sumber, yaitu bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing.

Kamus bahasa Indonesia merupakan sumber penembangan kosakata bahasa Indonesia, baik kosakata yang masih aktif maupun kosakata yang tak aktif. Kosakata yang masih aktif dapat dimanfaatkan dalam pengembangan konspe bahasa Indonesia melalui pemanfaatan sistem tata bahasa (afiksasi : menggesa, digesa) ataupun melalui pembentukan akronim (wartel, bandara dan valas). Sementara itu, kosakata yang tidak dimanfaatkan oleh penutur bahasa (kata-kata usang) dapat dihidupkan kembali untuk memperkaya berbagai konsep karena pemanfaatan itu akan memperkaya cakrawala dan variasi kosakata bahasa Indonesia.
Selain bahasa Indonesia, bahasa daerah atau bahasa serumpun dapat menjadi pemerkaya kosakata bahasa Indonesia. Kekayaan budaya yang tercermin pada sekitar 665 bahasa daerah dapat menjadi pemerkaya kosakata bahasa Indonesia. Pengamatan selama ini menunjukkan bahasa bahasa daerah ayng berpenutur besar memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kosakata bahasa Indonesia. Sementara itu, bahasa daerah yang berpenutur kecil kurang memberikan sumbangan terhadap pengembangan kosakata bahasa Indonesia. Untuk itu, dalam perencanaan ke depan perlu diperhatikan keseimbangan sumber pengembangan kosakata dari bahasa daerah yang berpenutur besar dan bahasa daerah yang berpenutur kecil. Dengan demikian, kamus-kamus bahasa daerah yang tleh disusun, baik oleh Pusat Bahasa maupun oleh pihak lain, perlu dimfnaatkan dalam penggalian kosakata bahasa daerah. Selain keseimbangan, hal yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan kosakata bahasa daerah ialah penyesuaian terhadap kaidah bahasa Indonesia, baik sistem tulis maupun lafalnya, bagi kata-kata bahasa daerah yang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Pemanfaatan kosakata bahasa daerah itu juga akan memperlihatkan ciri keindonesiaan, yaitu keragaman budaya Indonesia yang diwarnai oleh budaya daerah yang terlihat pada kosakata dari bahasa daerah, terutama kosakata bahasa daerah yang tidak terdapat padanya dalam bahasa Indonesia. Untuk itu, penelitian tentang kehidupan sosial budaya masyarakat etnik di Indonesia ini akan sanat bermanfaat dalam upaya ke arah itu.

Penyerapan kosakata bahasa asing selama ini dilakukan melalui penerjemahan atau pemadanan ke dalam kosakata bahasa Indonesia atau bahasa daerah serta pemungutan kosakata asing, baik melalui penyesuaian tulisan dan/atau lafal maupun tanda perubahan keduanya. Pemadanan ke dalam bahasa Indonesia lama (kosakata takaktif) atau pemadanan ke dalam bahasa daerah kurang mendapat tanggapan positif dari sebagian masyarakat karena kata-kata bahasa daerah itu belum dikenal oleh masyarakat, kecuali masyarakat bahasa daerah itu belum dikenal oleh masyarakat, kecuali masyarakat bahasa daerah yang bersangkutan. Kelompok masyarakat yang lainnya lebih cenderung memungut kata/istilah asing daripada kosakata bahasa daerah. Di samping itu, penggunaan kata/istilah asing tersebut juga didorong oleh kenyataan kurang tersedianya kosakata padanan dalam bahasa Indonesia, terutama kosakata bidang ilmu dan teknologi. Oleh karena itu, untuk mempercepat proses pengailiah konsep dari bahasa asing, perlu dilakukan peninjauan kembali tata cara/prosedur pembentukan kata/istilah baru.

Pengembangan kosakata tanpa penggunaannya secara tepat tidak akan mendukung upaya pemantapan peran bahasa Indonesia di tengah-tengah persiapan memasuki tatanan kehidupan global. Oleh karena itu, selain pengembangan kosakata, langkah yang harus ditempuh ialah peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia di seluruh lapisan masyarakat. Peningkatan mutu itu dapat dilakukan melalui pendidikan bagi generasi penerus. Untuk itu, perlu dicari upaya peningkatan mutu pendidikan secara komprehensif, jangan hanya melihat sektoral, seperti kurikulum, buku ajar, dan metode. Upaya itu harus mencakup semua komponen yang terkait dengan pendidikan, seperti guru (termasuk perguruan tinggi pencetak guru), manajemen sekolah, dan sarana/prasarana, dengan melibatkan orang tua dan masyarakat, selain sudah barang tentu, pemerintah. Pada tanggal 2 Mei 2002 yang lalu telah dicanangkan Geraka nasional Peningkatan Mutu pendidikan oleh presiden Republik Indonesia.
Upaya peningkaan mutu pendidikan itu harus dipicu oleh upaya peningkatan mutu pendidikan bahasa Indonesia (termasuk sastra karena bahasa Indonesia menjadi kunci keberhasilan penguasaan bidang studi yang lainnya. Dengan demikian, lulusan pendidikan memiliki mutu penggunaan bahasa Indonesia yang memadai sesuai dengan jenjang dan jenis pendidikan yang dilaluinya. Melalui pendidikan pula dapat ditingkatkan apresiasi sastra Indonesia sehingga keberhasilan pendidikan apresiasi itu akan meningkatkan sikap positif generasi penerus terhadap bahasa Indonesia. Kekayaan akan kosakata dan keindahan dalam seni sastra itu akan memupuk rasa bangga terhadap bahasa Indonesia sebagai milik bangsa Indonesia dan hal itu akan memberikan motivasi untuk memelihara dan menggunakannya secara baik sesuai dengan keperluan dalam memasuki tatanan kehidupan global. Dengan demikian, mereka dapat mengaktualisasikan amanat Sumpah Pemuda 74 tahun yang lalu “menunjungjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia,” dalam kehidupan masa kini.

Bagi generasi yang kini sedang memainkan peran, seperti aparat pemerintah, pelaku ekonomi, pendidik, penulis, dan wartawan, upaya perluasan wawasan dan peningkatan mutu penggunaan bahasa Indonesia perlu terus ditingkatkan. Perluasan wawasan tentang bahasa itu dapat dilakukan melalui penyediaan berbagai pedoman, seperti tata bahasa, kamus, tesaurus, dan buku-buku petunjuk yang dapat menuntun penggunaan bahasa Indonesia secara baik dan benar. Penyediaan sarana itu penting mengingat bangsa Indonesia kini harus mengubah orientasi dari budaya dengar-bicara menuju budaya baca-tulis.

Bagi masyarakat yang masih buta aksara dan belum dapat berbahasa Indonesia, perlu dilakukan terobosan melalui paket-paket belajar yang setaraf sekolah dasar agar mereka dapat mengejar kemajuan masyarakat lainnya dalam satu kesatuan kebangsaan yang akan memasuki tatanan kehidupan global.

Kesimpulan

Pada suatu karya tulis ilmiah, bahasa memegang peranan penting dalam proses penulisan dan penyusunannya. Dalam penyusunan suatu tulisan yang berkonsep ilmiah harus menggunakan bahasa yang baku dan ejaan yang benar serta sistematika penulisan yang terstruktur. Dalam pembuatan penulisan ilmiah seperti skripsi, tesis dan disertasi, memiliki penyusunan yang berbeda dengan menyusun suatu tulisan yang bersifat non ilmiah. Bahasa yang digunakan pada penulisan ilmiah pada umumnya menggunakan bahasa yang biasanya jarang muncul pada kamus bahasa Indonesia Selain dari segi bahasa dan kata yang digunakan dalam penulisan ilmiah ada berbagai macam faktor yang harus diperhatikan dalam penyusunan. Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam penulisan ilmiah yaitu:

  1. Gunakanlah kata yang umum dikenal.
  2. Gunakan kalimat yang sederhana sehingga karya tulis dapat mudah dimengerti dan dipahami.
  3. Gunakan tata bahasa serta ejaan yang disempurnakan (EYD), dimana harus diakhiri dengan tanda titik dan koma.
  4. Gunakan bahasa yang singkat, padat dan jelas.
  5. Sumber atau informasi digunakan dalam pembuatan penulisan ilmiah harus dicantumkan.

Setelah memperhatikan dalam segi penulisan penggunaan tata bahasa maka dalam penulisan ilmiah ditambahkan suatu kesimpulan yang berisikan apa saja yang dikerjakan dalam penyusunan karya tulis dari tahap awal sampai akhir. Dengan demikian bahasa Indonesia sangat berperan dalam penyusunan karya tulis yang memiliki konsep ilmiah.

pemanfaatan bahasa indonesia pada tatanan semi ilmiah dan non ilmiah

Wacana semi ilmiah

Berusahalah untuk tidak menjadi manusia yang berhasil tapi berusahalah menjadi manusia yang berguna ” Bambang Purnomo Sigit, SH MM

Jadikanlah suatu keyakinan bahwa,”Apa yang tuan cita-citakan pasti tercapai, dan apa yang tuan usahakan pasti berhasil.” Thomas Alva Edison

&am p;nb sp;

Apa yang dikatakan oleh Bambang purnomo sigit, SH MM ini sungguh sangat menarik bagi saya. Dahulu saya menganggap suatu keberhasilan itu adalah sekedar berkaitan dengan nasib seseorang, jika nasib orang telah ditakdirkan sial terus sepanjang umur hidup, maka selama menjalani sisa hidup yang ada, tak ada satupun keberuntungan. Tetapi barulah saya menyadari betul, bahwa semua yang ada dalam benak ini ternyata salah besar. Kita merasa bahwa segalanya dalam hidup ini telah terjatah oleh kehendak Yang Kuasa. Jika seseorang memang sudah ditakdirkan kaya raya, maka memang itulah yang seharusnya, dan apabila kita ditakdirkan miskin maka memang mustahil kita akan menjadi kaya. Padahal diserukan oleh Rasulullah, ”Allah tak akan merubah nasib suatu kaum, kalau kaum itu tidak mengubah nasibnya sendiri.”

Kata orang tua jaman dahulu, ”Nak, gantungkan cita-citamu setinggi langit!” Itu memang benar adanya, orang tua dahulu mungkin lebih bijak dalam memotivasi diri sang anak tercinta agar memiliki satu tujuan yang harus dicapai dalam hidupnya. Orang tua dahulu tidak segan memberikan permainan yang mengarah pada cita-cita sang anak, misalnya saja si anak bercita-cita jadi seorang pilot. Guna mendorong keinginan tersebut agar terwujud maka orang tua memberikan set permainan pesawat-pesawatan kepada si anak.

” Jika kita memotivasi dan membayangkan hal tersebut kepada anak kita, dan merasa hal itu pasti akan terwujud, maka secara tidak sadar, keinginan, cita-cita dan harapan ini tertanam dalam alam bawah sadar, serta menjadi do’a yang tak berkeputusan setiap saat.”

Seperti kata Bambang purnomo sigit diatas, semua hal itu pasti terwujud. Semua yang ada dalam bayangan kita sebetulnya memang sudah diciptakan oleh Tuhan, tapi entah itu berupa pasangan hidup, kekayaan melimpah, mobil mewah, rumah gedung, pekerjaan yang hebat. Semua sudah ada, hanya saja kita sering tak menyadarinya. Manusia itu bagaikan magnet yang menarik apa saja menuju ke dirinya, yang menentukan adalah kekuatan fikiran manusia, serta tekad bulat untuk memperolehnya. Semua pasti akan didapatkan, semua akan tercapai, hanya soal waktulah yang menentukan. Pikirkan hal-hal yang positif dalam hidup ini, maka segala hal yang positiflah Yang akan datang menghampiri. Tetapi apabila kita berfikir secara negatif, maka hal-hal yang buruk yang akan kita harapkan. Memang segalanya tak serta merta akan kita peroleh begitu saja dengan mudah. Anda akan mendapatkan yang Anda inginkan saat diri Anda memang sudah siap untuk itu. Jika belum siap, maka kita akan menempuh perjalanan dalam rangka mempersiapkan diri. Acapkali pula kita dihadang oleh kegagalan, tapi jika kita bertekat bulat, maka semua itu akan dapat tercapai.

Wacana non ilmiah

Pojok Demo Sahabat UKM Diluncurkan

Jakarta, WARTA KOTA- Produk – produk usaha kecil menengah (UKM) diharapkan bisa lebih banyak masuk ke pasar swalayan. Karena hal itu ditandai dengan di resmikannya Pojok Demo Sahabat UKM oleh Menteri perdagangan Mari Elka Pangestu. Tahap pertama, Pojok Demo Sahabat ukm BARU digelar di sejumlah pasar swalayan dan hypermarket di Jakarta.

“Kami berharap program ini dapat terus dilakukan, bahkan ditiru oleh pengelola ritel modern lainnya, termaksud mereka yang ada di daerah. Pemerintah akan terus mendorong upaya seperti ini. Kita tidak akan berhenti sampai disini, “kata Menteri Mari Pangestu ketika meresmikan Pojok Demo Sahabat UKM di hypermart,Jakarta beberapa lalu.

Dikatakan, Pojok Demo Sahabat UKM merupakan hasil kerja sama antara Pusat Dagang Kecil dan Menengah (PDKM), departemen Perdagangan dengan Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (APRINDO), kegiatan tersebut digelar setiap hari jumat sampai hari minggu dan akan berlangsung hingga 7 Februari 2010.

Menteri mengatakan, Pojok Demo Sahabat UKM merupakan terobosan untuk membantu pengusaha kecil menengah memperluas pesarnya. Hal itu karena dilakukan untuk mengatasi kendala UKM masuk ke toko-toko modern. “program ini sejalan dengan upaya memperdayakan UKM” Tegasnya.

Menurut Data Badan Pusat statistik (BPS) menyebutkan, bahwa sektor UKM pada tahun 2007/2008 tumbuh sebesar 2,8 % dari 49 juta unit usaha pada 2007 menjadi 51 juta unit usaha pada 2008. Menurut BPS, kontribusi UKM terhadap PDB nasional juga meningkat 1,2%, yakni dari Rp 2,105 triliun pada 2007 menjadi Rp 2,609 triliun pada 2008. Dari jumlah tersebut, sebanyak 5.610 unit usaha merupakan UKM binaan Departemen Perdagangan.